31 July 2013
Home Eskatologi Israelologi Penciptaan Indonesiaku ▼
Sejak kekalahan Israel dalam pemberontakan mereka yang ketiga melawan Kekaisaran Roma pada 135 M, tanah Israel memiliki nama alias yang kita kenal sebagai Palestina. Nama ini sudah menjadi nama yang sedemikian terkenal baik dalam sejarah umum dan Alkitab. Kaisar Roma pada saat itu, Hadrian, dengan asumsi karena kebenciannya terhadap bangsa Israel, dengan sengaja menggantikan nama wilayah tempat tinggal bangsa Israel menjadi Palestina yang dimaksud sebagai penghinaan bagi orang Israel. Hadrian mengetahui bahwa musuh Israel yang tinggal dalam wilayah yang sama adalah bangsa Filistin dan nama Palestina memiliki asal usul dari kata Filistin.
Orang “Palestina” masa kini, terutama mereka yang tinggal di daerah Gaza, memegang paham di atas sebagai dasar utama bahwa mereka berhak tinggal di daerah tersebut dan mengaku bahwa mereka adalah keturunan bangsa Filistin, sama seperti pengakuan Israel yang merujuk pada sejarah Kitab Suci. Hal menarik dari pengakuan tersebut adalah fakta bahwa bangsa Filistin telah punah 3.000 tahun yang lalu dan telah berbaur dengan bangsa lain di wilayah sekitar mereka.
Ketika nama Palestina merujuk pada Israel
Dalam artikel karya David Jacobson “When Palestine Meant Israel,” (Biblical Archaeology Review, Mei/Juni 2001. Vol. 27, No. 3, hlm. 42–47), Jacobson mengangkat beberapa wawasan yang patut diperhatikan dalam pembahasan asal usul nama Palestina. Dalam artikel tersebut ia mengakui bahwa “ada kemiripan pengucapan antara kata Palaistinedan Peleshet [kata Ibrani untuk ‘tanah Filistin’].
Lebih lanjut, ia menunjuk pada terjemahan Septuaginta (LXX). Kita menemukan sebuah transliterasi bahasa Ibrani yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani sebagaiPhilistieim. Jadi, pertanyaan penting yang perlu dilontarkan adalah bagaimana atau mengapa istilah Palestina menjadi referensi umum bagi tanah Israel (‘Eretz Yisrael). Jawabannya menarik untuk disimak dan memiliki implikasi yang menarik pula.
Asal mula hal ini dapat ditemukan dalam kisah yang tercatat dalam Kejadian 32:22–32 ketika Yakub bergelut dengan “seorang laki-laki” (atau malaikat). Setelah peristiwa tersebut, Allah memberi Yakub nama baru, Israel. Dalam ayat 25 kita membaca, “Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat mengalahkannya, ia memukul sendi pangkal paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok, ketika ia bergulat dengan orang itu.”
Kita lalu membaca ayat 28, “Lalu kata orang itu: ‘Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.’”
Pada masing-masing ayat, terdapat perbedaan kata untuk menjelaskan sebuah pergumulan. Dalam ayat 25 kata gulat (Ibr. ‘abaq) hanya digunakan dalam pergulatan yang terjadi antara Yakub dan malaikat Allah. Dalam ayat 28, kata bergumul berasal dari kata sarita, yang memiliki akar dari kata sarah, yang berarti ‘berpuas diri’. Nama Israel berasal dari dua kata gabungan yaitu sarita-el, atau Yisra’el (Israel). Sekali lagi, kata Ibraninya hanya merujuk pada perjumpaan Yakub dengan si malaikat (lihat Hos. 12:4). Penekanannya adalah bergumul atau bergulat dengan Allah.
Dalam ayat 25, kata Yunani dalam LXX untuk “gulat” adalah epalaien. Bahasa Yunani bagi pegulat adalahpalaistes. Kata ini pun erat kaitannya dengan kata Palaistine.
Setelah Jacobson melakukan observasi ini, ia berkata, “Kemiripan yang ada antara kata pegulat (palaistes) dan kata Palaistine—memiliki tujuh huruf yang sama berurutan, termasuk sebuah diftong—menjadi bukti kuat keduanya berkaitan.” Ia melanjutkan:
Kaisar Hadrian secara resmi menggantikan nama Yudea menjadi Syria Palaestina setelah pasukannya menghancurkan Pemberontakan Bar-Kokhba (pemberontakan Yahudi kali kedua) pada 135 M. Hal ini secara umum dipandang sebagai sebuah gerakan untuk secara sengaja menghilangkan hubungan antara bangsa Yahudi dan tanah tempat tinggal mereka. Akan tetapi, para pujangga atau penyair Yahudi seperti Philo dan Josephus, sebelum pasukan Roma datang untuk mematahkan pemberontakan, menggunakan istilah Palestina bagi tanah Israel dalam karya-karya mereka dalam bahasa Yunani, dan itu berarti menggagas bahwa tafsiran sejarah di atas kurang tepat (Hadrian mengubah nama tanah Israel atas dasar benci). Hadrian mengambil nama Syria Palaestina dengan tepat bisa ditafsirkan sebagai sebuah rasionalisasi nama tersebut bagi propinsi baru dalam pemerintahan Roma, sesuai dengan wilayahnya yang jauh lebih besar ketimbang wilayah Yudea secara geografis.Syria Palaestina memiliki sejarah turun-temurun yang sudah lama erat hubungannya dengan wilayah Israel yang jauh lebih luas dari yang kita lihat kini.
Kesimpulan
Ada dua hal yang dapat kita simpulkan.
1. Alasan di atas tidak mendukung mitos yang sudah sedemikian banyak tersebar bahwa kata Palestina berasal dari kata Filistin.
2. Sehubungan dengan alasan pertama, orang Arab Palestina berarti sedang mengakui bahwa mereka adalah keturunan dari Yakub dan benar-benar orang Israel, ketimbang orang Arab (ironis, karena jika Anda mengaku sebagai orang Arab, Anda pasti berasal-usul dari Arabia). Ini berarti Arab Palestina juga mitos. Lebih lagi, istilah Syria Palaestiniahampir mencakup seluruh wilayah yang sudah dijanjikan Allah kepada Abraham dan keturunannya (lihat Kej. 15:18–21).
Sebelum 1948, Mandat Inggris semakin membingungkan dunia dengan dua sebutan Palestina–Palestina Yahudi and Palestina Arab.
Palestina Yahudi adalah wilayah tak seberapa ketimbang Palestina Arab di mana saat itu wilayah di dalamnya termasuk negara Yordania yang kita kenal kini. Kini kita mungkin mengenal Israeli Philharmonic Orchestra. Banyak orang masa kini tidak tahu bahwa dulu ada kelompok orkestra bernama the Palestine Symphonic Orchestra. Sama halnya, sebelum terbitnya The Jerusalem Post, ada surat kabar Palestine Post. Lebih ironis lagi, negara Siria waktu itu menolak untuk menyebut wilayah tersebut dengan kata Palestina karena terdengar “terlalu Yahudi.”
Gerakan Palestina masa kini
Jadi, siapakah orang-orang yang mengaku sebagai orang Palestina yang acap kali kita dengar, baca, atau tonton di media? 300–400 tahun yang lalu, ketika bangsa Israel tercerai berai (diaspora) orang-orang Arab yang berasal dari Arabia menghuni daerah dan wilayah Palestina tersebut. Pada 1948, sekitar 750,000 orang Arab meninggalkan rumah mereka yang ada di Israel akibat invasi bangsa-bangsa Arab (Mesir, Siria, Yordania, Irak, dll.) setelah negara Israel menyatakan diri merdeka. Mereka meninggalkan Israel karena tiga alasan:
1.Mereka diimbau oleh saudara-saudara Arab mereka untuk menyelamatkan diri jika para pasukan Arab datang dan menyerbu Israel.
2.Kaum Arab intelektual dan pebisnis hijrah ke Eropa and Amerika karena keyakinan peperangan ini akan merugikan mereka jika mereka bertahan;
3.Orang Arab yang bertahan dan terbukti mengancam kedaulatan Israel maupun negara Arab sekitar Israel akan diusir dari wilayah tersebut dan rumah-rumah mereka disita.
Orang Arab yang hijrah ke negara-negara Arab disekitar Israel ternyata diperlakukan dengan tidak manusiawi, dianggap sebagai warga kelas tiga, bahkan dicap sebagai pengungsi. Selama bertahun-tahun mereka hidup dalam kondisi yang memprihatinkan di tengah-tengah saudara mereka sendiri. Orang Arab yang dulu tinggal di Israel begitu malang, sangat direndahkan di negara-negara Arab lainnya ketika mereka datang untuk mencari rumah yang baru. Ironisnya, mereka akan selalu dihormati oleh negara-negara Arab ketika mereka keluar dari negara-negara tersebut, menyatakan perang terhadap Israel, dan mati sebagai martir atau syahid. Mereka adalah boneka dari kepentingan negara-negara Arab atas kebencian mereka terhadap Israel.
Istilah “Palestina” yang kita dengan masa kini mulai terdengar pada masa Perang Enam Hari pada 1967. Tiga tahun sebelum perang tersebut, Palestinian Liberation Organization (PLO) dibentuk untuk membebaskan “Palestina,” yang saat itu Israel dan Yordania termasuk dalam wilayahnya. Arafat memimpin pasukan Palestina Yordan dalam sebuah revolusi melawan pemerintahan Yordan. Saat ia kalah, ia membawa PLO-nya ke Lebanon selatan dan akhirnya pindah (atas saran negara-negara Arab) ke Israel pada 1980an.